Monday, December 10, 2012

Cerpen Penggugah


Maaf Ayah
Tok, tok, tok,
Seseorang mengetuk pintu kamarku, segera kuterbangun dan melihat jam yang terpajang di dinding kamarku. “Masih pukul 04.00 kok ngetuk pintu, keluhku dalam hati. Siapa sih?”   Lanjutku dengan mendengus sambil menarik selimutku yang melorot.
“Mam, bangun dah mau subuh!” Terdengar suara ayah di balik pintu. “Ayo bangun!” Ayah mengulanginya diiringi dengan ketukan.
“Ia aku bangun” jawabku. Udara subuh itu betul-betul menusuk  dan tembus hingga ke sum-sum tulangku, kebetulan aku tinggal di daerah dataran tinggi.  Rasa kantuk dan dingin membuatku tak tega meninggalkan tempat tidur dengan selimutku.
“Ayo cepat wudhu, kita kemesjid shalat!”. Perintah ayah yang sudah rapi dengan sajadah di pundaknya. Dengan terkantuk-kantuk kumenuju kamar mandi untuk berwudhu. Tersentak aku ketika menginjak lantai kamar mandi. Kebetulan sudah lama saya tak pulang kekampung, makanya seperti orang asing.
“Pantas saja orang munafik susah melaksanakan shalat shubuh”, terlintas perkataan ayah dalam benakku.
Kuberangkat kemesjid dengan  3 lapis pakaian dan jaket tebal dilapis terluar pakaianku. Jika berkaca sepertinya aku lebih mirip dengan seorang yang hendak pergi mendaki daripada pergi shalat berjamaah. Aku berjalan di samping ayah dengan wajah tertunduk sambil memeluk erat badan sendiri menahan dingin.
“Ternyata cukup ramai mesjid kali ini, mungkin karena besok mau ramadhan kali ya?” kataku dalam hati. Mereka semua sepertinya tak sedingin aku. Apakah karena keihlasan mereka.
Seusai shalat, ayah berdiri di depan jamaah sambil menyampaikan beberapa hal. Yang bisa kutangkap kalau memasuki bulan ramadhan usahakan sambung silaturrahim terkhususnya hubungan pada orang tua. Karena ridhanya Allah ada pada ridha orang tua.
Matahari mengintip di balik bukit, hari sudah pagi. Walau hari itu hari minggu, masyarakat di kampungku tetap sibuk dengan aktifitasnya. Maklum kebanyakan dari mereka adalah petani sehingga tidak mengenal kata libur atau tanggal merah apalagi cuti.
Seperti biasa, kopi susu dan pisang goreng selalu menemani pagi saya bersama ayah didepan televisi. “Gimana sekolahmu nak?”. Ayah membuka percakapan dengan pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar.
“Baik, semuanya berjalan seperti biasa”. Imbuhku. “Pak, saya mau minta izin”. Lanjutku.
“Izin apa?”. Jawab ayahku sambil menghadap ke elevisi menonton berita pagi.
“Mau pergi dengan teman-teman (minggu ceria), kan besok ramadahan pak?”. Kataku dengan sedikit ragu-ragu.
“Loh, mau ramadhan kok pergi tamasya, sebaiknya kamu kemesjid saja! Bersihkan tuh mesjid, kan bentar malam kita tarwih?”. Jawab ayah dengan sedikit menjelaskan.
“Anak muda sekarang, kalau mau ramadhan bukannya tingkatkan ibadah malah hura-hura”. Tambah ibu yang sedang bekerja di dapur.
“Tapi, masalahnya saya sudah janji ma teman-teman bu”. Jawabku sambil menghadap ke ibu dengan nada sedikit protes.
“Biarkan saja bu. Dia kan sudah besar”. Kata ayah dengan kebijaksanaannya.
 “Mam, kalau hendak melakukan sesuatu pikir-pikir dulu! Baik atau tidak”. Lanjut ayah.
Ayah memang selalu demokratis kepadaku. Dalam mendidikku, ia tak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Seandainya ada penghargaan, aku ingin memasukkan ayahku sebagai salah satu nominasinya.
Jam menunjukkan pukul delapan. Udara masih terasa dingin walaupun surya sudah bersinar. Segera kutancap motorku menyusuri jalan. Aku hendak berjalan-jalan ke salah satu tempat terkenal di daerahku untuk menikmati minggu terakhir sebelum ramadhan. Orang sekitar menamainya puncak karena berada di bukut tertinggi di daerah tersebut. Kuhabiskan pagi itu dengan berfoto ria sambil menikmati keindahan alam. Bahkan tidak ada sama sekali aktifitas agama yang kulakukan. Padahal kitakan bisa bertadabbur alam.
Setelah sekian lama berada di sana, ternyata perutku memberikan tanda kalau sebaiknya aku harus cepat pulang. Segera kutancap motorku kembali kerumah. Di perjalanan ada yang aneh kurasa. Tetapi kulawan perasaan itu. Dengan takjub kulewati jalan berkelok-kelok di lereng bukit.
Di salah satu tikungan kumenghindari motor yang hampir saja menbrakku, alhasil  motorku keluar aspal dan......
Aku terjatuh dari motor, celana robek tepat dilututku padah dari bahan jeans. Dengan langkah terpincang-pincang aku menuju motorku. Segara kudirikan dan memeriksanya, tak terlalu parah rusaknya. Aku hanya terduduk, pikiranku melayang jauh. Banyak pertanyaan muncul di benakku.
“Biar aku yang bonceng, lukamu parah”. Temanku menawarkan. Perjalanan pun kulanjutkan. Tak jauh dari tikungan tadi, aku hampir menabrak mobil xenia. Tak bisa kubayangkan jika hal itu terjadi, apalagi mobil itu masih baru. Bagaimana aku menggantinya.
Aku meminta  temanku berhenti. Ku duduk di bawah pohon sambil mengobati lukaku dengan daun-daun tanaman yang sempat kupelajari di pramuka.
“Apa salah saya ya Allah?”. Aku bertanya dalam hati. Segera kuputar memoriku kebeberapa jam yang lalu disaat aku bangun  tidur. “Aku shalat subuh, berjamaah malah. Apa yang salah denganku”. Aku bingung sendiri dengan pertanyaanku. Segera kusandarkan kepalaku kebatang pohon kemiri dibelakangku.
“Senangnya Allah tergantung pada orang tua, mau puasa kok tmasya, harusnya perbanyak ibadah.” Astgafirullah, apakah karena itu aku seperti ini. Apakah karena aku tidak mendengar perkataan orang tua. Apakah orang tua tidak iklas membiarkanku pergi.
“Maaf ayah, nasehatmu kuabaikan”. Kataku dalam hati setelah menyadari kebodohanku pagi ini. Ternyata benar, kasih Allah, Cinta Allah, Ridha Allah akan datang kepada kita setelah orang tua mengasihi, mencintai, dan meridhai kita. Dan murka Allah akan sangat dekat dengan kita jika orang tua sudah tak iklas melihat perbuatan kita. Sadarilah itu, karena orang tua terkadang mengorbankan keegoisannya demi melihat anaknya bahagia walaupun sebenarnya ia tau kalau  hal itu tak baik untuk anaknya. Hanya saja kita sebagai anak kadang tidak sadar akan hal itu. 

Baca Juga

Cara Menghemat Data WhatsApp

Panduan WhatsApp   Cara Menghemat Data WhatsApp . Siapa sih yang tidak tau aplikasi chatting whatsApp? Aplikasi ini sudah tembus ha...