Wednesday, January 14, 2015

Ada Pelanggaran Hukum di Kondangan

Kantong mahasiswa memang tak abadi. Seperti itu saya mengistilahkannya. Di awal bulan berjaya namun menjelang akhir bulan mulai sekarat bahkan menemui ajalnya. Bahkan ada yang mengawali bulan dengan penyakit kanker (kantong kering) hingga keadaan seperti ini terus berlanjut hingga bulan kembali bergantung. Darimana kehidupan tetap berlangsung? Maka disinilah keunikan mahasiswa.
Secara teori, otak orang yang kelaparan akan bekerja dua kali lebih cepat dibandingkan orang yang sedang kenyang. Terlebih ketika mereka ingin mencari makanan. Itulah sebabnya Orang Afrika yang pernah dijajah tidak dibiarkan kelaparan karena mereka akan melawan dengan kekuatan yang berlipat ganda.
Berangkat dari teori di atas, otak mahasiswa yang kantongnya sekarat di saat lapar akan bekerja lebih cepat. Pikiran mereka langsung berputar bagaimana kehidupan terus berlanjut. Dan sling, idepun muncul. Ada yang bersilaturahmi kerumah teman, mencari tenpat syukuran senior yang habis ujian tutup, atau bahkan datang kekondangan dengan modal amplop kosong. Hehehehe lucu kan.
***
Tetapi yang ingin saya ceritakan di sini adalah di saat saya datang kekondangan untuk memberi doa restu ke salah satu pasangan berbahagia (anggaplah). Saya datang dengan mengenakan pakaian batik lengan pendek dengan bawahan celana hitam dan sepatu kulit kwalitas rendah. Penampilan lazim untuk menghadiri sebuah resepsi pernikahan.
Saya sempt berdiri di depan pintu masuk melihat sekeliling. Laki-laki memakai pakaian yang sama dengan saya. Sementara perempuan memiliki pakain yang bermacam-macam. Yang paling menyita perhatianku ialah model kepala mereka. JIka dihitung, ada selusin lebih model kepala yang dibalut kerudung dengan model yang bermacam-macam. Begitulah fahion wanita yang selalu berkembang seiring berjalannya waktu.
Setelah menyantap hidangan walimah, saya langsung meninggalkan gedung meuju parkiran. Tentu hal ini saya lakukan setelah memberikan doa kepada mempelai. Sesampai diparkiran, saya hanya heran melihat pasangan suami istri yang mulai beranjak pulang.
Seorang lelaki dengan pakain batik coklat lansung memacu motornya. Songkoknya dia simpan dan diganti dengan helm hitam sebagai pelindung. Pandanganku seketika tertuju kepada perempuan yang diboncengnya. Helmnya hanya dipangku. Entah kenapa, mungkin akan sangat disayangkan jika kerudung dengan model seperti itu akan rusak jika ditutupi dengan helm. Bagaimana tidak, dipasang dengan waktu setengah  jam harus hancur karena memakai helm.
***
Cerita di atas mungkin hanya terjadi di kotaku. Kota yang seketika menjadi kota fashion seperti Milan dan Paris. Sebuah kemajuan yang luar biasa bukan.
Namun, meski bagaimanapun juga, model jilbab, sanggul, dan apapun itu tidak akan mampu melindungi kepala ketika terbentur. Sialnya lagi, kebiasaan seperti ini tentu melanggar UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas yang diwajibkan memakai helm standar nasional.
Bayangkan jika Polantas melakukan sweaping di tempat kondangan. Ada berapa pelanggar yang bisa diciduk? Atau bahkan ada berapa pelanggar yang memilih jalan damai dengan memberikan suap? Tentu ini adalah pelanggaran.
Jika kebiasaan buruk yang kecil dibiasakan, maka akan banyak kebiasaan buruk yang dampaknya lebih besar akan bermunculan. Jika ingin merubah dunia, mulailah dari yang paling kecil dan diri sendiri.
Baca juga:
                 

Tuesday, January 13, 2015

Pengiring Jenazah di Balik Bayang-Bayang Kematian

Saya memacu dengan santai sepeda motorku menyusuri jalan-jalan kembali kerumah. Panas matahari sudah bersahabat karena hari mulai senja. Asap kendaraan mengepul diiringi bunyi klakson yang bersahutan membentuk irama yang setiap saat dapat memecahkan gendang telingamu atau siapa saja yang mendengarnya. Kendaraan saling menyerobot untuk mendahului, tidak ada yang mau mengalah. Seorang lelaki berbadan besar dengan perut agak buncit dibalut jas hijau menyala hanya tanpak kebingunan. Bunyi peluitnya yang tidak teratur sudah cukup menjadi gambaran kebingungannya. Sebuah pemandangan lazim bagiku, terjebak macet ketika pulang kampus. Itu hanya berlaku di kotaku. Kota dimana sipakatau dan sipakala'bi mulai pupus termakan usia. Mungkin pada waktu macet saja. Entahlah.
Di tengah macet yang semakin parah, dimana kendaraan sambung menyambung membentuk ular raksasa yang tergeletak di punggung jalan tak bergerak, perhatian saya tiba-tiba berubah. Suara sirine ambulans dengan iringan klakson motor dan suara knalpot bogar terdengar semakin mendekat. Sehelai kain putih yang terikat di sebilah bambu diayung-ayungkan oleh seorang pengendara. Saya pun berkesimpulan "innalillahi wa inna ilaihi rajiun".
***
Semua kendaraan memaksakan diri untuk menepi untuk memberikan jalan bagi sang ambulans. Bisa jadi ini sebagai penghormatan terakhir buat si mayat dengan alasan kemanusiaan. Atau mungkin karena pengguna jalan sangat mengerti tentang ajaran Nabi SAW untuk menyegerakan pelaksanaan jenazah. Entahlah, ini sudah sering terlihat dalam keadaan yang sama.
Ceritaku tak cukup sampai di situ, masih banyak bagian lain yang tidak kalah menariknya. Gerombolan pengiring mobil jenazah sepertinya terlihat aneh. Berboncengan tiga, knalpot besar, tidak memakai helm, dan masih banyak atribut lain yang mungkin kita harus sepakat menjadikannya atribut pengiring mobil jenazah. Setelah mobil jenazah lewat, maka kendaraan yang terjebak macet tadi akan segera mengekor dengan menyalakan lampu kendaraan. Ini juga harus dimasukkan sebagai tanda pengiring mobil jenazah. Begitulah cerita kematian di kotaku.
***
Yang ingin saya tanyakan, apakah pisau hukum itu terlalu tumpul ketika terjadi keadaan seperti ini. Bagaimana jika pengiring mobil jenazah tersebut terjatuh dari motor dengan kecepatan melebihi mobil ambulans? Apa yang terjadi dengan kepala mereka yang tidak terlindungi helm? Atau bagaiamana keadaan mereka yang sakit gigi mendengar bunyi klakson dan knalpot motor pengiring mobil jenazah tersebut?
Kematian memang selalu mengintai kita setiap saat dan dimanapun. Akan tetapi, apakah semudah itu kita menyerahkan jiwa kita kepada kematian? Jika pembiaran seperti ini terus dilakukan, maka kita akan selalu membuat alasan bahkan menciptakan keadaan untuk melawan hukum terlebih melanggar aturan yang telah diciptakan Tuhan.
Semuanya berawal dari kita, bagaimana kita mengambil langkah pertama. Menirukan atau membuatnya lebih bijak.

Kita Berbeda tetapi Kita Sama



Sepulang kampus segera kurebahkan badan di atas kasur setengah empuk. Kutatap jam dinding yang sepertinya malas bergerak dan masih menunjukkan pukul 15.00. Pikiranku langsung tertuju ke film yang baru saja kuambil dari teman di kelas tadi.
Laptop hitam kesayanganku pun saya buka dan segera kucari file PK yang adalah judul dari film tersebut. Ada banyak tanya dalam benakku tentang film tersebut. Genrenya apa, pesan moralnya apa, dan setumpuk pertanyaan yang mengganggu pikiranku.
Film pun dimulai. Te deng. Setelah melihat video pembukanya, ternyata film bolliwod. Maklum, poster filmnya tidak terlalu saya perhatikan. Akhirnya timbul sebuah hipotesis di benakku kalau film ini adalah kias asmara yang berakhir tragis.
Film ini menceritakan seorang tokoh yang disebut PK (Aamir Khan) yang berasal dari planet lain dan datang ke bumi untuk sebuah misi. Sesampainya di bumi kalungnya yang merupakan remot pesawat kontrol pesawatnya dicuri seseorang. Walhasil, dari sinilah tumpukan pesan dari film ini mulai disampaikan.
Pada akhirnya, PK meminta kepada Tuhan untuk menemukan barangnya tersebut. Akan tetapi di dunia terlalu banyak Tuhan yang dimintai pertolongan. PK menjadi bingung kepada Tuhan siapa ia harus meminta pertolongan. Sehingga di tengah kebingungan tersebut, PK meminta kepada semua Tuhan yang manusia kenal dengan menjalankan ritual keagamaan dari setiap agama. Karena PK menganggap, bahwa di antara semua Tuhan tersebut pasti ada yang Tuhan yang sesungguhnya dan akan mendengarkan jeritannya.
Pencarian PK tidak menuai hasil. Dia pun berkesimpulan bahwa telah terjadi salah sambung antara dia dengan Tuhan sama halnya antara kita selama ini dengan Tuhan. Dia beralasan bahwa, banyaknya permintaan yang tidak terkabul dikarenakan adanya salah sambung antara kita dengan Tuhan. Bahkan PK mempertanyakan keberadaan Tuhan sesungguhnya.
Di akhir cerita, PK mengetahui bahwa pencuri alatnya tersebut telah dijual kepada seorang Tokoh agama dan menjadikannya sebuah alat untuk menipu kepercayaan banyak orang. Dari situlah PK beranggapan bahwa tidak pernah terjadi salah sambung antara dia dengan Tuhan. Akan tetapi sosok yang dijadikan Tokoh agamalah yang salah. Salah memberikan informasi kepada kita sehingga banyak pesan Tuhan yang tidak tersampaikan.
PK juga menyadari bahwa terkadang ada masa kita sendiri tanpa teman, tidak bisa mencari makanan sendiri untuk dimakan, dan merasa kesepian. Dan di saat itu kita memiliki satu hal yaitu Tuhan. Akan tetapi menurut PK ada dua Tuhan. Pertama adalah Tuhan yang menciptakan kita semua yang hanya sedikit pengetahuan yang kita tahu tentangnya. Dan yang kedua adalah Tuhan yang diciptakan oleh tokoh-tokoh agama yang terkadang memberikan kepada kita harapan palsu.
Kita semua terlahir sama dalam keadaan telanjang. Maka sesekali kita mesti telanjang dan menengok ke dalam sebelum berkata seperti Ebiet G. Ade berkata. Perbedaan yang terjadi mungkin kita sendirilah yang menciptakannya. Namun di antara jutaan perbedaan yang mengelilingi kita, percayalah bahwa kita diciptakan oleh Tuhan yang sama dan terlahir dalam keadaan sama.
Wallahu a’lam.
Baca juga Siswa Peradaban

Monday, January 12, 2015

Belajar dalam Belajar

Dalam dunia pendidikan, dikenal istilah belajar sepanjang hayat atau kadang juga diistilahkan dengan pendidikan sepanjang hayat. Konsep ini memandang bahwa setiap individu harus terus mengembangkan dirinya selama hayat dikandung badan melalui belajar (menurutku).
***
Beberapa hari yang lalu, saya berpikiran tentang apa sebenarnya belajar di sekolah itu sendiri. Apakah belajar di sekolah itu hanya duduk di kelas mendengarkan ocehan guru. Menyalin catatan dan mengerjakan tugas-tugas. Dan kemudian di akhir pelajaran siswa akan diuji dengan soal-soal untuk mengetahui batas kemampuan mereka. Bahkan beberapa pendidik memberikan ujian untuk menelanjangi murid-muridnya. (Arogansi intelektual).
Akan tetapi, saya memiliki pandangan tersendiri tentang belajar. Jika terkadang kita kesulitan dalam memahami materi pelajaran, maka ada hal lain yang perlu dipelajari. Sejatinya kita belajar kenapa kita kesulitan, belajar tentang batas kemampuan pribadi, belajar apakah kita cocok dengan bidang yang hendak kita dalami. Atau masih banyak pelajaran lain yang lebih berharga.
Akhirnya, kita harus berhenti menghakimi diri kita yang masih bernilai rendah meski belajar mati-matian, mulailah belajar untuk memahami apa yang harus kita perbuat.


Thursday, January 8, 2015

Siswa peradaban 2

Seperti hari kemarin, pagi ini pun saya harusnya duduk manis di ruang tamu dengan segelas kopi hangat tentu tanpa rokok. Saya tiba-tiba teringat hubungan antara kopi dan rokok setelah membaca cerita memukau dari kakandaku. Kok malah bahas itu.
***
Dalam tulisan sebelumnya saya menyinggung pandangan Inkeles tentang manusia modern. Inkeles beranggapan yang bahwa ada 9 ciri yang harus dimiliki oleh manusia modern (baca siswa peradaban). Pada tulisan ini saya ingin menyinggung pandangan tim bentukan Presiden Jokowi yang dipimpin oleh Dr. Paulus Wirutomo, sosiolog UI. Tim tersebut mengundang banyak kalangan untuk menjaring nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam membangun bangsa ini. Dengan berbagai usaha, maka dirumuskanlah 6 nilai pokok yang dibutuhkan bangsa ini. 6 nilai tersebut adalah: 1) Citizenship (sadar akan kewajiban dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), 2) Jujur, 3) Mandiri (dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak hanya bergantung kepada pemerintah), 4) Kreatif (mampu berpikir alternatif, menemukan terobosan), 5) Gotong royong, 6) Saling menghargai (Yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai yang minoritas).
***
Enam nilai di atas tidak salah jika bisa dimiliki oleh setiap siswa. Hal ini bisa terjadi jika dalam pembelajaran guru bisa menanamkan nilai ini. Sehingga sekolah bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Begitupula dengan pihak sekolah. Sesekali mereka harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan bakat mereka karena pada hakikatnya seorang anak harus dilepas untuk mendidik diri mereka sendiri.
Nilai ini tentu harus diterapkan secepatnya bukan dengan membiarkan proses membentuknya yang tentu memakan waktu. Hal ini dikarenakan zaman tidak akan menunggu sekolah untuk berkembang. Jangan sampai kita terlindas waktu dan akhirnya tinggal sejarah yang akan menceritakan nama kita. Itupun jika orang masih enggan.

Wednesday, January 7, 2015

Siswa Peradaban

Seharusnya pagi yang dingin seperti ini, saya menyerut kopi dan sepiring pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Tetapi keadaan memaksaku untuk tidak melakukan hal itu. Jauh dari kampung sudah cukup menjadi bukti kalau keinginanku tadi hanyalah mimpi di pagi buta.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel yang berjudul Manusia Modern hasil buah tangan Bapak Sarlito Wirawan Sarwono salah seorang Guru Besar Psikologi UI. Dalam tulisan tersebut, bapak kita ini banyak menyinggung bagaimana membangun bangsa kita yang masih merangkak menuju kejayaan. 
Sejenak saya teringat bagaimana membangun almamater saya tercinta. Hemat saya, ramuan Bapak kita tersebut kurang lebihnya cocok untuk membangun almamater saya yang sedang berpacu menuju masa gemilangnya (menurutku).
Banyak hal yang telah dilakukan pihak sekolah dalam membangun almamater kebanggaan saya tersebut. Banyak hal yang dapat dinikmati oleh siswa sebagai bukti keseriusan pihak sekolah dalam membangun almamater yang angat saya cintai tersebut. Mulai dari membangun RKB, asrama yang memadai, Baruga, taman-taman dan masih banyak lagi. Adapula pemecatan beberapa siswa yang dianggap sudah tak mampu berada di lingkungan sekolah. Hal ini sebagai bukti ketegasan pihak sekolah yang ingin membangun almamater yang sangat saya cintai.
Akan tetapi membangun sekolah tersebut tidak cukup hanya oleh pihak sekolah. Akan tetapi siswalah yang menjadi soko guru utama dalam mebangun sebuah sekolah . Tugas dari pihak sekolah adalah menciptakan suasana yang kondusif agar siswa mampu mengekspresikan diri mengembangkan bakat dan mintanya demi kemajuan sekolah. Karena banyak siswa yang keadaannya sama saja sejak pertama menginjakkan kakinya di sekolah hingga ia selesai. Di antara mereka hobi tidur dikelasnya awet hingga selesai dan bakatnya pun tidak kelihatan. Bahkan ironisnya, terkadang ada siswa yang bakatnya mati karena tidak adanya susana yang kondusif untuk meningkatkan bakatanya secara optimal. Padahal kita ketahui bahwa setiap anak terlahir spesial dengan bakatnya yang luar biasa.
Dalam tulisan tersebut disebutkan pula karakteristik manusia modern versi Alex Inkeles ((Sosiolog Harvard) yaitu: 1) Menerima ihwal baru dan terbuka untuk perubahan, 2) Bisa menyatakan pendapat atau opini mengenai diri sendiri dan lingkungan serta dapat bersifat demokratis, 3) Menghargai waktu dan berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, 5) Percaya diri, 6) Punya perhitungan, 7) Menghargai harkat hidup manusia, 8) Lebih percaya kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, 9) Menjunjung tinggi keadilan yaitu bahwa imbalan harus sesuai dengan prestasi.
Secara teoritis sembilan ciri di atas sudah cukup pantas untuk diaplikasikan pada masyarakat sekolah. Apalagi keluaran pesantren di tuntut untuk melebur kedalam kehidupan masyarakat yang makin kompleks. Dengan hal ini, di harapkan semua elemen mampu berpartisipasi dalam membangun almamater yang sama dicintai masyarakatnya.
Bersambung....

Baca Juga

Cara Menghemat Data WhatsApp

Panduan WhatsApp   Cara Menghemat Data WhatsApp . Siapa sih yang tidak tau aplikasi chatting whatsApp? Aplikasi ini sudah tembus ha...