Dua tahun sudah saya menjadi seorang yang disebut sebagai insan
cendekia atau orang lazim menyebutnya sebagai mahasiswa. Sebuah status yang
dipandang istimewa oleh banyak kalangan. Wajar saja, definisinya saja tidak
cukup diartikan secara administratif, namun mahasiswa menyimpan begitu banyak
makna yang luar biasa.
Status mahasiswaku kudapat setelah terdaftar di salah satu
Universitas Ternama (menurutku) di Indonesia Timur. Meski lulus dengan bebas
tes, saya merasa hal itu hanyalah sebuah rencana Tuhan yang tidak pernah
terlintas di pikiranku. Hingga akhirnya, saya pun menjadi agen perubahan yang
ditempa di universitas tersebut.
Sama dengan mahasiswa pada umumnya. Kepala botak, pakaian hitam
putih adalah adat istiadat yang harus dijalani. Hal itu tak lain untuk
mengakrabkan kami dengan kampus dan mencintai status kami, begitulah ajaran
yang beredar.
Setelah beberapa pekan berkenalan dengan dunia kampus, saya
menyaksikan sebuah perang idealisme para insan cendekia. Asap tebal mengepul
membumbung tinggi dari pembakaran ban bekas, kaca pecah dari lemparan batu,
serta ledakan dari suara papporo makhluk yang baru saja kukenal
merupakan salah satu bagian dari adegan saat itu. Sebuah tragedi warisan dari
pendahulu-pendahulu yang mungkin sudah membudaya. Entahlah.
Saya sedikit heran dengan gambaran dunia kampus yang selama ini
terlukis indah di kepalaku. Sketsaku sedikit kulengkapi dengan puluhan motor
dan dua nyawa mahasiswamerupakan tumbal dari ritual anarkis tersebut. Alhasil,
tragedi tersebut berhasil menyita perhatian masyarakat nasional. Bagaimana
tidak, kampus yang dikenal sebagai lumbung guru malah menyuguhkan pelajaran
berharga bagi masyarakat. Hal ini diperparah oleh blow-up media yang bagi saya
kurang berimbang.
Caci maki dan umpatan merupakan hal biasa bagi saya. Gelar kampus
anarkis, mahasiswa primitif, kerap kali mengganggu ruang dengar saya. Saya
hanya bisa pasrah, pindah kampus bagi saya hanyalah kekufuran akan nikmat
Tuhan. Mungkin ini hanyalah duri-duri kecil dari sekian banyak duri di
sepanjang jalan saya ke depan.
Yang membuat saya heran, kejadian sama yang terus berulang. Begitu
besarnya pengaruh pendahulu-pendahulu kami dalam menanamkan idealisme mereka
kepada setiap penghuni baru seperti kami. Mungkin di sinilah para pendidik kami
sedikit berkaca, para senior lebih memberikan ruang kepada kami dibanding
pendidik kepada kami sebagai peserta didiknya. Hal ini akan terus berakhir,
jika seorang pendidik hanya memandang tugasnya untuk memberikan materi
perkuliahan saja. Padahal sejatinya, seorang guru tidak hanya membimbing
jasmani kita, akan mereka harus bisa menjadi pembimbing spiritual kita.
Akhirnya
saya katakan, mungkin lebih baik menjadi yatim piatu daripada memiliki orang
tua yang hanya bisa memberi kita makan dan minum saja. Wallahu a’lam.