Wednesday, December 17, 2014

Sebuah Refleksi

Asap tiba-tiba mengepul dan membumbung tinggi. Seketika langit mulai tertutupi warnanya yang hitam kelam. Kemacetan pun tidak dapat dihindarkan. Saya langsung mendongak mencoba mencari tau apa gerangan yang terjadi.

Sosok dengan semangat berapi berdiri di atas mobil box dengan megaphone di tangan kanan. Suaranya yang lantang memecah kebisingan suara mobil. Kata-kata empati untuk rakyat kecil, pendidikan, sosial dan politik mengalir begitu saja. Sedangkan umpatan dan cacian sesekali terselip untuk para pemegang kewenangan. Sedangkan sesekali kerumunan yang seolah menjadi pendengar meneriakkan "Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat".
--------
Tidak ada yang salah dengan kejadian di atas. Sebuah apresiasi bagi mereka yang rela meluangkan watu untuk menyuarakan suara yang tidak terdengar dari pelosok desa, gang-gang sempit, dan tempat lain yang tidak pernah di jamah oleh pemangku kebijakan negeri ini.

Sayangnya, terkadang banyak kalangan menilai mereka sebagai pembuat onar dan penghambat yang hobi mengundang masalah. Padahal mereka tidak sadar, bahwa teriakan yang keluar dari nurani mereka murni untuk menyuarakan hak mereka yang tidak pernah merasa tertindas.

Alangkah lucunya hidup ini, perbuatan yang baik terkadang masih memiliki cela di pandangan orang.
--------
Sebuah ironi memang, ketika kita menyuarakan hak mereka yang kurang beruntung. Merelakan kulit tersengat panasnya mentari. Namun nyatanya alpa akan banyak hal. Alpa akan hak-hak yang harus kita dapatkan di bangku kelas maupun di kampus. Mungkin tidak salah pepatah mengatakan "Semut diseberang lautan nampak, namun gajah di pelupuk mata tidak terlihat".

Terkadang kita menyuarakang kezaliman penguasa, padahal kita tidak sadar akan kezaliman kita terhadap orang yang menaruh harapan besar di pundak kita yang jauh tinggal di kampung sana. Kita menyuarakan pendidikan, sedangkan pendidikan kita terabaikan.

Kita rela menjadi lilin. Menerangi sekitarnya dan membiarkan dirinya hancur lebur. Begitu mulia memang. Namun jika ada cara yang lebih bijak, apakah salah untuk kita mencoba untuk menempuhnya. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan jalan kita, mungkin hana perlu untuk sedikit diperbaiki.

Tuesday, December 16, 2014

Jangan Memilih Cacat

Kemarin saya sempat mengunjungi tempat keramaian. Orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Terlihat manusia dengan segala macam warnanya. Seorang renta yang berdiri di pinggir bangku taman sedangkan seorang anak dengan fisik yang kuat duduk menyilangkan kaki di atas bangku. Sedangkan seorang yang melemparkan sisa makanan ke bahu jalan sedangkan di sampingnya duduk dengan manisnya tempat sampah. “Bagaimana pandangan anda tentang orang yang terlahir dengan cacat fisik, padahal tuhan mengatakan bahwa kita diciptakan dengan sempurna?” Sejenak pertanyaan tersebut terlintas di pikiran saya. Saya tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Apakah kesempurnaan yang Tuhan maksud adalah kesempurnaan fisik. Entahlah,marilah kita merenung bersama. Seorang pengemis buta memberikan sepotong roti kepada anak kecil dengan pakaian dekil. Sedangkan si cacat dengan tongkatnya tertatih menuju ke mesjid untuk menjawab panggilan azan. Dua kasus di atas seketika menyayat sembilu. Seorang dengan mata buta namun memiliki mata hati yang tajam, sedangkan si pincang malah dengan ikhlas menantang jarak hanya sekedar menjawab panggilan Tuhannya. Pertanyaannya adalah, dimanakah kita selama ini yang selalu merasa sempurna. Apalah arti fisik yang sempurna sedangkan spiritual kita cacat. Sungguh sangat menyedihkan jika mengaku sempurna sedangkan pada hakikatnya kita cacat. Jasmani kita bisa saja cacat, akan tetapi rohani kita sehat. Persembahkan yang terbaik.

Baca Juga

Cara Menghemat Data WhatsApp

Panduan WhatsApp   Cara Menghemat Data WhatsApp . Siapa sih yang tidak tau aplikasi chatting whatsApp? Aplikasi ini sudah tembus ha...