Kandas di Pagi
Hari
Butiran hujan jatuh membelai
rerumputan. Bangau beterbangan lalu hinggap di sengkedan pesawahan. Gemercik
air mengalir menyapu bebatuan. Bulir-bulir padi merunduk menari-enari tertiup
angin. Hijau, sejuk pagi ini kurasakan.
Kuparkir motorku di gerbang
peristirahatan terakhir orang-orang di desaku. Berat rasanya kaki ini melangkah
masuk kedalamnya. Sesak nafasku menyaksikan nisan-nisan bertuliskan nama.
Kusambangi satu persatu kotak denganhiasan keramik itu, dan kujumpai satu
pusara tanpa keramik dengan nisan batu apung ditengahnya.
Tanahnya yang masih merah
kugenggam dan mengepalnya erat-erat. Butiran air mata mengalir jatuh menetes di
atas gundukan tanah itu. Ingin ku meraung meneriakkan kekesalanku atas
kepergiannya tanpa meninggalkan sepenggal kata cinta, tanpa membisikkan kata
perpisahan. Mungkinkah benar cinta itu
tidak mesti memiliki.
Kupandangi nisanmu dengan isak
tangis yang tertahan, sesak ditenggorokan menahan sakit pedihnya cobaan ini.
Masih terlukis jelas wajah manismu dalam ingatanku, di saat kau lepas aku pergi
ke tanah Makassar. Ku masih sempat melihat senyummu merekah menghias bibirmu
yang tipis, senyum perpisahan saat itu dan ternyata perpisahan untuk
selama-lamanya. Masih terasa lembut pipimu di punggung tanganku, ternyata
itulah salam terakhir yang kau berikan.
Lirih kuucapkan di pusaramu ini,
entah kau dengar atau tidak. Maaf dinda, ku tak sempat mendapingimu di perang
terakhirmu, tak sempat aku menuntunmu, tak sempat aku mengantarmu ke rumah
keabadianmu. Hanya do’a dan air mata ini kupersembahkan di hadapanmu. Maaf, kepergianmu
tak sempat kutaburi bunga kamboja dan irisan daun pandan. Rinduku tak akan terbalas lagi, sapaanku tak akan terjawab lagi.
Dinda, ku pasrahkan semua. Cinta-Nya abadi, dan kuyakin kau tau akan hal itu.
“Nak sudalah, tak usah kau
bersedih terlalu lama.” Kata ayah Nirma sambil memegang pundakku. “Paman paham
apa yang kamu rasakan. Dari kecil kalian selalu bersama. Tapi maut juga adalah
takdir yang maha Kuasa yang tidak bisa kita bantah. Aku pun sebagai ayahnya
ingin melihat dia tumbuh,
sekolah tinggi seperti kamu. Sudahlah nak, pasrahkan saja kepada Allah.
Mintalah supaya Nirma diberikan tempat yang layak.”Lanjut ayah Nirma
menasihatiku.
“Mari kita pulang nak!”Ajak ayah
Nirma.
Segera kutinggalkan pemakaman
itu, dan kupacu sepeda motorku mengantar ayah Nirma pulang. Langit mendung,
petani yang sibuk mengambil gabah yang dijemur menghiasi perjalanan kami.
Seperti suasana hatiku saat itu, mendung dan gelisah. Seketika kami sudah
berada di halaman rumah Nirma.
Aku dipanggil naik kerumah
melepas rindu dengan sanak saudara. Terngiang ketika Nirma melambaikan
tangannya di anak tangga yang kunaiki ini. Terbayang disaat dia menyambutku dengan senyuman di samping
daun pintu rumahnya. Namun kali ini yang menyambutku adalah ibunya. Aku duduk
di sofa seperti saat aku bertamu
sebelum-sebelumnya. Ibunya langsung membawakan secangkir teh hangat, minuman
yang selalu disuguhkan untukku sama seperti sebelum-sebelumnya. Namun, saat ini
bukan sosoknya yang membawakan, tak adalagi senyum khasnya ketika kucicipi
minuman ini. Percakapanku dan ayahnya sama seperti sebelumnya, tentang
kuliahku. Namun, tidak terdengar lagi kata-kata ayahnya, “semoga Nirma juga
bisa seperti kamu nantinya.”
Tidak terasa sudah hampir
dhuhur, aku pamit pada mereka. Kupandangi sejenak fotonya di atas etalase belakang sofa. “Senyummu begitu indah
adik.”Kataku dalam hati. Ketika di depan pintu, ibunya memanggilku, segera aku
berbalik.
“Nak, ini ada sesuatu untukmu.
Sebenarnya apa yang kami harapkan sama seperti yang Nirma harapkan.” Kata
ibunya sambil meyodorkan amplop putih kepadaku.
Aku berbalik dan segera kupacu
meninggalkan halaman rumahnya
sambil membunyikan klakson. Pagi yang menyesakkan bagiku.
∞
Langsung kujatuhkan badanku di atas kasur, kupandangi langit-langit
kamarku. Wajahnya kembali terbayang. Segera kuambil amplop yang diberikan
ibunya tadi, dan segera
membacanya.
Assalamu Alaikum Wr.Wb
Kak, gimana kabarnya?
Kok tambah kurus, pasti karena terlalu sibuk kuliah ya
kak. Bagaimana ya, kalau nanti aku yang kuliah. Masa ikut-ikutan kurus.
Hehehehe.
Gimana kuliahnya kak, lancar kan? Kasian tiap minggu
harus kerja laporan. Tangan kakak tak kempes kan. Hahahaha. Nanti aku tak usah
deh ambil jurusan fisika, kakak aja repot sekali bagaimana dengan saya. Tapi
kakak harus semangat, biar biasa ajarin Nirma. Oh ya kak, bentar lagi Nirma UN.
Jadi tahun depan dah jadi mahasiswa.
Oh ya kak, kemarin saya kerumah sakit, dokter bilang sakitku
sudah parah. Harus segera diobati. Maaf ya kak, aku tak bilang sama kakak kalau
saya punya penyakit seperti ini. Soalnya aku tak mau senyum kakak hilang
gara-gara tau penyakitku. Nanti hilang gagahnya lagi. Hehehehehe.
Oh ya kak, aku sudah dua hari sakit, makanya aku tak
pernah sms kakak. Badanku sakit sekali kak, akhirnya hanya tidur deh aku kerja.
Eh aku juga masih bisa nulis surat ini. Hebat kan adindamu ini.....
Kak, kalau mendengar dokter. Sepertinya aku sudah tidak
punya harapan. Hehehehe. Kak, jangan sedih dong. Aku sengaja tak ngasih kabar
ke kakak. Soalnya hal yang paling sakit saya rasa saat melihat kakak sedih.
Jujur ya kak, bukan gombal. Aku tak mau di sisa hidupku melihat kakak bersedih,
apalagi nangis. Cukuplah senyum kakak yang menjadi kenangan bagi saya.
Kak jika saya telah tiada, aku harap kakak mengubur cinta
kakak ke aku bersamaan dengan jasadku. Walaupun aku tau kakak mencitai jiwa dan
ragaku. Tapi aku tidak mungkin menemani kakak, membuat kakak terus tersenyum.
Oleh karena itu, aku akan sangat bahagia jika bisa melihat kakak membahagiakan
seorang wanita, sama seperti kakak menghias dan membuat hari-hariku indah.
Kak, terimakasih telah mau menjadi teman Nirma selama
ini. Walau tak bisa terus bersama, aku sudah cukup bahagia pernah hadir dalam
hidup kakak. Kak, kaulah kekasihku dunia dan akhirat. Tapi kuharap, kakak cari
kekasih di dunia. Insyaallah kita bertemu di rangkulan Allah. Oke kakak.
Kak sudah dulu ya kak. Udah, jangan sedih. Aku baik-baik
saja disini. Kakak jangan malas ya! Rajin makan, jangan lupa shalat,dan
lain-lain. Rasanya banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi sudahlah. Yang
penting jangan lupa shalat.
Wassalam
Adindamu
Nirma
Kelopak mataku tak kuasa membendung air mataku. Aku betul-betul menangis
membaca suratnya yang terakhir. Tuhan, kenapa aku begitu bodoh selama ini. Aku
serasa begitu asing darinya. Adindaku, kenapa hanya dengan surat ini kau
memberitahuku. Ternyata mukamu yang manis selama ini menyimpan seribu derita.
Senyummu padaku selama ini hanya menyembunyikan tangisanmu di malam kelam. Kau
memang pribadi yang tegar, kau wanitaku.
Di penghujung malam, kupanjatkan doa
kepada Yang Maha Cinta, kepada yang memberikan serpihan cintanya padaku.
Ya Allah, apakah cintaku kandas di pusaranya? Mengapa Kau
ciptakan makhluk seperti dia Ya Allah, dia mencintai dengan tulus. Kasihnya
padaku suci. Biarkan cintanya tetap ada dalam kalbuku. Dan satukanlah cinta
kami ya Allah. Aku tak mampu membalas cintanya, maka balaslah ia dengan cinta
dan kasih sayang-Mu.
Dekap ia dengan Kasih sayang-Mu. Jaga ia dari api
jahim-Mu. Karena Kaulah sang pemberi cinta.