Sunday, January 3, 2016

Santri bukan Malaikat dan Pembina bukan Nabi

Tepat pukul 19.30 selepas gerimis, saya mengantar adik saya kembali ke pondok (PP. Sultan Hasanuddin), tempat dimana dulu saya pernah belajar arti dari kehidupan. Meski banyak yang berubah dibanding beberapa tahun silam, bau tanah yang basah oleh hujan serta suara serangga malam yang seolah menolak perubahan zaman masih tetap sama. Pohon besar yang terletak di sudut halaman pondok pun masih berdiri tegak menyaksikan pelbagai cerita dari santri dan santriwati di sini.
Kurang lebih tiga tahun saya sudah meninggalkan pondok ini (baca menjadi alumni) meski tak pernah benar-benar pergi. Namun waktu yang sesingkat itu tentu belum mampu menghapus ribuan episode yang telah saya lalui di pondok ini. Menjadi santri baru yang melelahkan dengan setumpuk jadwal yang serba teratur, dididik oleh pendidik yang terkadang mengorbankan keinginannya, menjadi pengurus asrama dengan segala tanggung jawab yang mungkin berlebihan untuk pelajar SMA adalah rentetan cerita yang tidak kalah meantang dengan film laga manapun.
Enam tahun lamanya saya mondok di sana, menjalani kehidupan yang tidak normal dibandingkan teman-teman lain yang menempuh pendidikan di luar pondok katanya. Setelah itu, saya diterima sebagai salah satu mahasiswa di perguruan tinggi tepatnya di jurusan fisika. Bertemu dengan orang-orang baru (tak ada dari pondok), dengan berbagai latar belakang sosial dan agama. Sebuah babak baru yang mungkin susah untuk ditaklukkan. Tetapi, semuanya berlalu begitu saja dan keadaan pun berpihak kepadaku.
Satu hal yang menjadi catatan, di awal pertemuanku dengan teman-teman yang baru itu, satu pertanyaan yang hingga saat ini masih membekas di fikiranku, "maks, waktu SMA olimpiade apa yang sudah kamu ikuti? Pernah ikut Gravitasi tidak?". Fikiranku pun melayang jauh mencari jawaban yang tepat dengan pertanyaan itu.
"Saya tidak sempat berfikir untuk kegiatan demikian. Waktu saya habis untuk menjadi pengurus kamar dan belajar memahami puluhan anak-anak MTs dengan berbagai karakter. Yang ada difikiran saya setiap hari, hanyalah mencari kalimat yang tepat untuk menenangkan orang tua santri yang kebanyakan kurang faham dengan aturan dan realita pondok yang jauh dari kata ideal versi mereka."
Demikianlah realita yang terjadi bagi kami jika sudah duduk di bangku Madrasah Aliyah. Apakah rugi? Menurutku tidak, karena hal yang seperti ini justru jarang didapatkan oleh anak-anak seusia kami.
Jika demikian adanya, kenapa masih banyak santri yang bandel. Kok sendal, makanan, dan barang-barang santri terkadang banyak yang hilang? Kenapa bisa?
Pondok pesantren bukanlah tempat yang suci dan terbebas dari godaan setan. Para pembina dan elemen-elemen yang terdapat di pondok pun bukan para rasul yang memiliki sifat ma'shum. Para santri-santrinya pun tidak dididik untuk menjadi malaikat yang tidak memiliki kesalahan. Sehingga perilaku yang tidak sesuai dengan aturan pun bisa kita dapatkan di sana.
Saya ingin mengutip tulisan teman. 
"Menitipkan anak untuk mondok bukan berarti serta merta melepaskan tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik misalnya. Perlu kerjasama dan komunikasi yang baik antara pembina dan orang tua. Tidak melepaskan tanggung jawab juga bukan berarti masih bisa bertindak semaunya. Ketika di rumah, orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik kepada anak. Ketika tidak di rumah, orang tua perlu mempercayakan kepada pembina dengan tidak serta merta melepasnya, sebaiknya ada komunikasi dua arah dengan pembina mengenai perilaku dan perkembangan di sana dan di rumah. Pengetahuan ini bisa menjadi referensi bagi orang tua dan pembina dalam menyikapi anak selanjutnya. Jangan sampai malah orang tua yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan pondok. Percayalah peraturan yang meski terkadang sulit itu tidak akan dibuat jika tidak ada manfaatnya. (http://khatimhusnul.blogspot.co.id/2015/12/tentang-pondok-pesantren-sultan.html)
Begitu pula memarahi hingga memaki pengurus di masing-masing kamar bukanlah tindakan bijak atas segala kejadian yang menimpa para santri. Bayangkan saja, seorang anak yang masih dalam fase remaja dipaksa untuk bersikap jauh lebih dewasa melampaui usia mereka dengan menghadapi berbagai perilaku dari puluhan santri dan harus memperhatikan pelajaran mereka di kelas, kesehatan mereka dan setumpuk tugas aneh lainnya. Menurut saya bukanlah langkah yang cerdas menghakimi seorang remaja 17-an tahun yang harus menjadi orang tua dari puluhan anak. Tentu ini bukanlah hal yang mudah.
Kerja sama dan komunikasi yang baik sejatinya senantiasa terjadi antara orang tua santri dan pihak pondok. Husnu zan seharusnya selalu diletakkan di atas ego para orang tua. Harapan orang tua santri dan pihak pondok dapat terealisasi dengan baik.

Baca Juga

Cara Menghemat Data WhatsApp

Panduan WhatsApp   Cara Menghemat Data WhatsApp . Siapa sih yang tidak tau aplikasi chatting whatsApp? Aplikasi ini sudah tembus ha...