Sakralnya Perkawinan
Tulisan ini saya buat setelah saya ikut dengan tetta ke rangkaian
acara khitbah atau lamaran. Saat itu pihak laki-laki membawa uang panaik ke
pihak perempuan. Entah kenapa saya ingin ikut dengan tetta, yang jelas saya
hanya ingin tahu bagaimana prosesi adat lamaran di kampung saya.
Di atas sebuah rumah kayu beberapa orang berkumpul dalam acara
serah terima uang panaik tersebut. Acara tersebut dimulai dengan obrolan ringan
tentang keadaan masing-masing, mulai dari keadaan kebun dan lain sebagainya.
Setelah itu, beberapa orang mulai saling menyindir satu sama lain tentang
maksud kedatangan pihak laki-laki. Entah apalah istilah sindiran tersebut dalam
ilmu sastra. Yang jelas saya bisa paham bahwa acara ini begitu sakral.
Selang beberapa saat, perwakilan pihak laki-laki meminta piring
kosong. Saya kira piring tersebut hendak dijadikan asbak seperti tetta yang
lebih dulu meminta piring kosong. Sesaat kemudian seorang lelaki paruh baya
(Cieee) mengeluarkan tiga ikat uang dengan pecahan lima puluh dan seratus ribu
rupiah. Bapak paruh baya tersebut seperti mengucapkan do’a sebelum menyerahkan
ke pihak perempuan dengan mengucapkan beberapa kalimat ijab. Dan setelah itu,
saya kedapatan bagian penghitung uang. Nominalnya secara keseluruhan 23 juta rupiah
dari 25 juta yang hendak dibawa ditambah beberapa kwintal beras.
Buset, mungkin seperti itulah kenapa perkawinan begitu sakral di
kampung saya ini. 25 ditambah enam nol di belakangnya. Setelah itu, uang di
simpan di atas ampang yang orang sekitar menyebutnya pa’dinging. Katanya supaya
sejuk-sejuk, entahlah apa maksudnya. Obrolan kemudian dilanjutkan dengan hari
pernikahan, mahar yang katanya emas yang seharga dengan emas senilai tanah satu
are. Obrolan semakin hangat karena ditemani kopi panas dan baje’ (salah satu
makanan khas daerah saya).
Dari rangkaian acara tersebut, dapat saya tarik kesimpulan bahwa,
adat dan budaya Makassar yang sampai sekarang masih dipertahankan mengajarkan
kita bahwa perkawinan ialah hal yang sakral dalam hidup setiap manusia. Tentu
hal ini bisa kita terima sebagai makhluk beragama ketika Bu Daya itu sejalan Pa
Daya (agama).