Maaf Ayah
Tok, tok, tok,
Seseorang mengetuk pintu kamarku, segera kuterbangun dan melihat jam yang
terpajang di dinding kamarku. “Masih pukul 04.00 kok ngetuk pintu, keluhku
dalam hati. Siapa sih?” Lanjutku dengan mendengus sambil menarik
selimutku yang melorot.
“Mam, bangun dah mau subuh!” Terdengar suara ayah di balik pintu. “Ayo
bangun!” Ayah mengulanginya diiringi dengan ketukan.
“Ia aku bangun” jawabku. Udara subuh itu betul-betul menusuk dan tembus hingga ke sum-sum tulangku,
kebetulan aku tinggal di daerah dataran tinggi. Rasa kantuk dan dingin membuatku tak tega
meninggalkan tempat tidur dengan selimutku.
“Ayo cepat wudhu, kita kemesjid shalat!”. Perintah ayah yang sudah rapi
dengan sajadah di pundaknya. Dengan terkantuk-kantuk kumenuju kamar mandi untuk
berwudhu. Tersentak aku ketika menginjak lantai kamar mandi. Kebetulan sudah
lama saya tak pulang kekampung, makanya seperti orang asing.
“Pantas saja orang munafik susah melaksanakan shalat shubuh”, terlintas
perkataan ayah dalam benakku.
Kuberangkat kemesjid dengan 3 lapis
pakaian dan jaket tebal dilapis terluar pakaianku. Jika berkaca sepertinya aku
lebih mirip dengan seorang yang hendak pergi mendaki daripada pergi shalat
berjamaah. Aku berjalan di samping ayah dengan wajah tertunduk sambil memeluk
erat badan sendiri menahan dingin.
“Ternyata cukup ramai mesjid kali ini, mungkin karena besok mau ramadhan
kali ya?” kataku dalam hati. Mereka semua sepertinya tak sedingin aku. Apakah
karena keihlasan mereka.
Seusai shalat, ayah berdiri di depan jamaah sambil menyampaikan beberapa
hal. Yang bisa kutangkap kalau memasuki bulan ramadhan usahakan sambung
silaturrahim terkhususnya hubungan pada orang tua. Karena ridhanya Allah ada
pada ridha orang tua.
Matahari mengintip di balik bukit, hari sudah pagi. Walau hari itu hari
minggu, masyarakat di kampungku tetap sibuk dengan aktifitasnya. Maklum
kebanyakan dari mereka adalah petani sehingga tidak mengenal kata libur atau
tanggal merah apalagi cuti.
Seperti biasa, kopi susu dan pisang goreng selalu menemani pagi saya
bersama ayah didepan televisi. “Gimana sekolahmu nak?”. Ayah membuka percakapan
dengan pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar.
“Baik, semuanya berjalan seperti biasa”. Imbuhku. “Pak, saya mau minta
izin”. Lanjutku.
“Izin apa?”. Jawab ayahku sambil menghadap ke elevisi menonton berita pagi.
“Mau pergi dengan teman-teman (minggu ceria), kan besok ramadahan pak?”.
Kataku dengan sedikit ragu-ragu.
“Loh, mau ramadhan kok pergi tamasya, sebaiknya kamu kemesjid saja!
Bersihkan tuh mesjid, kan bentar malam kita tarwih?”. Jawab ayah dengan sedikit
menjelaskan.
“Anak muda sekarang, kalau mau ramadhan bukannya tingkatkan ibadah malah
hura-hura”. Tambah ibu yang sedang bekerja di dapur.
“Tapi, masalahnya saya sudah janji ma teman-teman bu”. Jawabku sambil
menghadap ke ibu dengan nada sedikit protes.
“Biarkan saja bu. Dia kan sudah besar”. Kata ayah dengan kebijaksanaannya.
“Mam, kalau hendak melakukan sesuatu
pikir-pikir dulu! Baik atau tidak”. Lanjut ayah.
Ayah memang selalu demokratis kepadaku. Dalam mendidikku, ia tak pernah
memaksakan kehendaknya padaku. Seandainya ada penghargaan, aku ingin memasukkan
ayahku sebagai salah satu nominasinya.
Jam menunjukkan pukul delapan. Udara masih terasa dingin walaupun surya
sudah bersinar. Segera kutancap motorku menyusuri jalan. Aku hendak
berjalan-jalan ke salah satu tempat terkenal di daerahku untuk menikmati minggu
terakhir sebelum ramadhan. Orang sekitar menamainya puncak karena berada di bukut
tertinggi di daerah tersebut. Kuhabiskan pagi itu dengan berfoto ria sambil
menikmati keindahan alam. Bahkan tidak ada sama sekali aktifitas agama yang
kulakukan. Padahal kitakan bisa bertadabbur alam.
Setelah sekian lama berada di sana, ternyata perutku memberikan tanda kalau
sebaiknya aku harus cepat pulang. Segera kutancap motorku kembali kerumah. Di
perjalanan ada yang aneh kurasa. Tetapi kulawan perasaan itu. Dengan takjub
kulewati jalan berkelok-kelok di lereng bukit.
Di salah satu tikungan kumenghindari motor yang hampir saja menbrakku,
alhasil motorku keluar aspal dan......
Aku terjatuh dari motor, celana robek tepat dilututku padah dari bahan
jeans. Dengan langkah terpincang-pincang aku menuju motorku. Segara kudirikan
dan memeriksanya, tak terlalu parah rusaknya. Aku hanya terduduk, pikiranku
melayang jauh. Banyak pertanyaan muncul di benakku.
“Biar aku yang bonceng, lukamu parah”. Temanku menawarkan. Perjalanan pun
kulanjutkan. Tak jauh dari tikungan tadi, aku hampir menabrak mobil xenia. Tak
bisa kubayangkan jika hal itu terjadi, apalagi mobil itu masih baru. Bagaimana
aku menggantinya.
Aku meminta temanku berhenti. Ku
duduk di bawah pohon sambil mengobati lukaku dengan daun-daun tanaman yang
sempat kupelajari di pramuka.
“Apa salah saya ya Allah?”. Aku bertanya dalam hati. Segera kuputar
memoriku kebeberapa jam yang lalu disaat aku bangun tidur. “Aku shalat subuh, berjamaah malah.
Apa yang salah denganku”. Aku bingung sendiri dengan pertanyaanku. Segera
kusandarkan kepalaku kebatang pohon kemiri dibelakangku.
“Senangnya Allah tergantung pada orang tua, mau puasa kok tmasya, harusnya
perbanyak ibadah.” Astgafirullah, apakah karena itu aku seperti ini. Apakah
karena aku tidak mendengar perkataan orang tua. Apakah orang tua tidak iklas membiarkanku
pergi.
“Maaf ayah, nasehatmu kuabaikan”. Kataku dalam hati setelah menyadari
kebodohanku pagi ini. Ternyata benar, kasih Allah, Cinta Allah, Ridha Allah
akan datang kepada kita setelah orang tua mengasihi, mencintai, dan meridhai
kita. Dan murka Allah akan sangat dekat dengan kita jika orang tua sudah tak
iklas melihat perbuatan kita. Sadarilah itu, karena orang tua terkadang mengorbankan
keegoisannya demi melihat anaknya bahagia walaupun sebenarnya ia tau kalau hal itu tak baik untuk anaknya. Hanya saja
kita sebagai anak kadang tidak sadar akan hal itu.