8 Juli 2013
Dewi malam baru saja menampakkan wajahnya
mengantikan mentari menyinari bumi. Gemintang kembali menghias langit dengan
redup cahayanya. Orang-orang menyandang sajadah hendak berangkat ke mesjid
menunaikan shalat. Anehnya, saya terheran melihat mereka semua.
“Jo! Mereka mau pada kemana? Ramai begitu. Memang
ada yang meninggal ini hari?” Tanyaku pada teman yang dari tadi membopongku.
“Maks! Mereka pada mau tarwih. Inikan malam
pertama puasa.” Jawabnya.
“Oh maaf, saya tidak bisa bedakan mana abulan
puasa mana bukan.” Jawabku sambil sedikit tersenyum. Kulihat dia hanya
menggelengkan kepala.
Saya memang tidak tau mana bulan puasa. Bagiku
semuanya sama. Bulan puasa pun saya tak puasa. Jadi seperti tidak ada kesan
yang berbeda. Padahal saya dibesarkan di keluarga yang agamis, taat agama. Tapi
entah kenapa, bisikan setan lebih sering kudengar daripada seruan Tuhan.
Kepalaku masih terasa pusing dari sisa mabuk
semalam. Padahal, sudah hampir sehari saya tertidur. Johan tampak kesulitan
menuntunku jalan. Dengan pikiran setengah sadar tentu membuatnya kesulitan.
Tapi dia adalah teman yang hebat. Dia tetap memperhatikanku walau terkadang
nasihatnya tak kudengar. Berulang kali dia menyuruhku untuk meninggalkan
duniaku yang kacau ini. Judi, mabuk, tapi tidak dengan wanita. Mereka kuhargai
seperti menghargai ibuku, meskipun aku adalah anak yang durhaka.
“Jo, kau tak pergi tarwih?” Tanyaku.
“Kuantar kau kerumah. Istirahatlah dulu.”Jawabnya
simpel.
Rumahnyalah yang sesekali menjadi makhluk yang
suci. Suci dari judi dan minuman keras. Meskipun belum membuatku menjadi orang
yang yang mendirikan shalat meskipun hanya sekali.
Dia menidurkanku di kamar tamunya. Seperti
biasanya, sudah tersedia segelas susu dan sepiring nasi di samping tempat
tidur. Setelah itu, dia mengunci kamar untuk memastikanku untuk tidak keluar
malam kembali menenggak minuman haram itu. Dan dia pun pergi bersama sitrinya
menjawab panggilan adzan.
9 Juli 2013
“Maks, bangun! Sudah jam tiga”. Johan
membangunkanku sambil memukul pundakku.
“Ha, tumben kau bangunkan aku jam segini?”.
Tanyaku penasaran. Biasanya ketika aku mabuk dan tertidur, dia biarkan aku
bangun sendiri. Setelah ia membuka pintu kamarnya sekitar jam enam.
“Ada yang ingin saya bicarakan Maks. Ikutlah
denganku!” Jawabnya sambil berjalan keluar kamar.
Segera kuikuti dia. Dan dia duduk di meja makan
bersama istrinya tentu saja dengan hidangan yang ada di atasnya.
“Wow, kenapa adakan pesta di pagi buta begini?”
Tanyaku dengan nada heran.
“Maks, duduklah!” Jawab istrinya.
Dengan perasaan bingung, aku hanya menuruti
perintahnya seperti anjing peliharaan. Saya duduk manis di depan Johan. Kulihat
mereka sedikit merunduk. Hal itu tentu sangat membantuku agar mereka tak
melihat wajahku yang lucu karena kebingungan.
“Maks, bolehkah saya sedikit curhat denganmu?” Tanyanya
ragu-ragu.
“Jo, jangan jadi orang asing bagiku. Kita sudah
saling kenal sejak duduk di SD dulu. Bahkan saya mencarikanmu calon istri yang
sekarang duduk di sampingmu. Bicaralah! Jangan ragu-ragu!.” Jawabku sedikit
menasihati.
“Maks, saya merindukan kamu yang dulu. Yang selalu
keliling kompleks membangunkan orang sahur. Saya rindu kamu yang mengajakku ke
mushalla. Saya rindu maks.” Dia mengawali dengan ucapan tersendak. Dan sayapun
menjadi diam seribu bahasa.
“Maks, sampai kapan kau mau seperti ini? Judi,
minum, tidak shalat. Kau percaya Tuhan kan Maks. Berubahlah! Sudah cukup kau
menyiksa diri. Maks, ini kukatakan bukan berarti saya sudah bosan mengangkatmu
dari pinggir jalanan karena mabuk. Bukan itu alasanku Maks. Kamu itu bisa lebih
baik Maks, kenapa harus seperti ini?” Lanjutnya sambil menjatuhkan butiran
bening dari pelupuk matanya.
Dan inilah saat-saat yang sulit bagiku. Melihat
kawanku menjatuhkan air mata karenaku. Karena ulahku yang sering membuatnya
susah. Ya, sejak kabur dari rumah, merekalah satu-satunya alasan kenapa saya
masih bisa hidup.
“Oke, silahkan makan. Mari kita sahur.” Jawabku
simpel.
Warna mukanya kulihat berubah seketika. Terpancar
wajah bahagia dari dua insan yang luar biasa yang selama ini merawatku.
Mengingatkanku di kala lupa. Mereka lah berdua alasanku untuk hidup.
10 Juli
2013
Adzan baru saja menggema di setiap pucuk menara
mesjid menjemput malam di setiap sudut kota. Seketika orang-orang berpuasa
menjadi bahagia. Tuhan telah menjanjikan kebahagiaan bagi mereka. Dan salah
satunya diberikan di saat mereka berbuka setelah seharian bertempur melawan
hawa nafsu.
Tak kusangka, sudah dua hari saya berpuasa
semenjak saya disebut sebagai remaja yang baligh. Saya seperti terlahir
kembali. Akhirnya saya bisa merasakan ramadhan walaupun belum spenuhnya. Tetapi
sebuah kesyukuran, Tuhan memberikanku kesempatan berkenalan dengannya. Makhluk
Tuhan yang penuh ampunan dan berkah, makhluk Tuhan yang disebut Ramadhan.
Malam ini, Johan ingin membuktikan keseriusanku
untuk berubah. Dia mengajakku ke mesjid untuk shalat tarwih. Dia mengajakku
bertemu dengan orang-orang yang sudah terbiasa melihatku tergeletak di jalan
atau tertidur di atas meja judi karena mabuk. Saya tidak tau dia sengaja atau
tidak. Tetapi, saya paling benci disebut sebagai orang yang tidak pernah
serius.
Baju gamis putih dan sarung abu-abu membalut
tubuhku dan peci hitam sebagai penutup kepala. Kulangkahkan kaki kanan masuk ke
mesjid seraya mengucapkan basmalah. Doa yang diajarkan ibu untuk memulai yang
baik-baik. Kusadari semua mata tertuju kepadaku. Wajar mereka heran, selama ini
saya yang hanya menjadi sampah masyarakat datang ke mesjid tanpa perasaan
malu-malu. Sesekali kudengar bisikan mereka berucap, “Sudah menjadi sampah
masyarakat, apa sekarang mau mengotori masjid?”. Atau ada yang lebih parah
mengatakan, “Mungkin dia sedang mabuk berat sehingga dia tersesat masuk
mesjid”.
Perih hati ini mendengarnya. Saya lebih senang
diiris botol minuman daripada mendengar pembicaraan mereka. Namun, suara syahdu
terdengar mengatakan, “Tak baik seperti itu, kita yang sekarang rajin kemesjid
bisa tak ada apa-apanya dibandingkan dia
karena kita menceritakannya”. Segera perih ini terobati.
Dia adalah Lutfiah yang berarti lembut.
Kelembutannya telah melunakkan kerasnya hatiku semenjak kami duduk di bangku
SMA. Tetapi dia adalah wanita yang baik, tak pantas jika air bersih dicampur
dengan segelas minuman haram dan najis.
Usai menunaikan shalat sang penceramah pun
menyampaikan ayat-ayat Tuhan yang selama ini saya anggap sebagai angin yang
berlalu. Kudengarkan dengan baik sambil mengingat kesalahan dan dosaku yang
seperti bilangan pasir di tepi pantai.
Pintu taubat itu selalu terbuka bagi siapa
saja, dan akan selalu terbuka hingga nyawa hanya tinggal di kerongkongan atau
sampai matahari terbit di ufuk barat. Oleh karena itu, seyogyanya kita
bertaubat dan mati dalam keadaan beriman. Yakinlah, Allah selalu bersama mereka
yang menuju kejalannya.
Demikianlah bebarapa bait kalimat yang selau
terngiang-ngiang di telingaku. Menjadi kalimat pamungkas bagiku. Hingga
akhirnya saya bisa melalu hari-hari dalam ramdhan.
Malam ini saya berdo’a kepada Tuhan, jika
ia tak mengizinkanku hidup membina rumah tangga dengan wanita shalehah. Kuharap
Allah mencabut nyawaku setelah bertaubat dan membawa iman.
20 Juli 2013
Saat ini saya memiliki aktifitas baru. Mengaji
seusai subuh, shalat lima waktu, dan shalat tarwih di malam harinya. Saya cukup
senang melihat Johan dan istrinya bahagia. Paling tidak saya tidak lagi menjadi
beban untuk keluarga ini.
Seusai tarwih, seseorang menyapaku.
“Assalamu alaikum.” Sapanya.
“Waalaikum salam.” Jabku sambil berbalik.
“Lutfiah!” Sambungku dengan sedikit heran.
“Wah, saya ikut senang bisa melihatmu bergabung
dengan kami di mesjid.” Katanya memulai pembicaraan.
“Ya, mungkin ini saatnya saya berubah. Saya sudah
cukup menyusahkan banyak orang Jawabku sambil menghela nafas. “Oh ia, bukannya
saya malas bicara dengan kamu. Tetapi apa kata orang-orang kalau kamu berjalan
dengan seorang pemabuk. Saya duluan ya, assalamu alaikum.” Ucapku sambil
mengejar Johan yang berda di depanku.
Begitulah saya menghargainya, paling tidak menjaga
nama baiknya dengan tidak mengajaknya
berbicara itu sudah cukup bagiku.
5 Agustus 2013
Ramdhan sebentar lagi akan berpamitan. Dia akan
pergi dengan membawa beribu berkah dan ampunannya. Dia akan pergi bersama
beribu kemuliaannya. Dan saya tidak tau, akankah kami akan berjumpa lagi tahu
depan.
Di penghujung ramadhan ini, dimana orang bilang
sebagai pembebas dari api jahannam, saya berniat untuk pulang kerumah. Sudah
lama saya tidak berjumpa kedua orang tuaku. Entah dia masih ingat pernah
melahirkan saya yang durhaka kepadanya. Kerinduanku semakin membuncah dan tak
sadarkan diri menjatuhkan air mata dikala kulihat mereka di balik bingkai foto.
Masih terngiang di telingaku ketika kutinggikan
suaraku di hadapannya dan membuat air matanya menetes. Seketika kurasakan
israil hendak memanggilku sebelum kudapatkan ampunan mereka. Saya tak sanggup
ketika mendengar petuah ustad bahwa orang durhaka tak akan merasakan surga
hingga unta masuk ke lubang jarum.
“Pulanglah Maks! Sudah waktunya.” Kudengar suara
Johan bersama istrinya di belakangku.
Segera aku mengemasi pakaianku di bantu oleh
mereka berdua. Mereka juga telah memsan mobil untuk aku tumpangi. Sekali
lagi saya berhutang kepada mereka.
Sebelum berangkat, kusodorkan atm kepada mereka.
Isinya adalah uang halal yang selama ini kudapat. Kuharap mereka
mempergunakannya untuk menyambut lebaran. Namun, dia menolaknya dengan
senyuman. “Belikan sesuatu untuk keluargamu di rumah!” Jawabnya sambil menolak
pemberianku.
Sesampai dirumah, kulihat sanak saudara sudah
berkumpul di rumah. Mata mereka tertuju kepada mobil panther yang baru saja
sampai. Rasa penasaran mereka seperti sedang menunggu kedatangan pejabat negara.
Aku pun turun dari mobil dengan perasaan gugup.
Segera kumasuk di halaman rumah. Dan ternyata
betul, tak ada yang mengenaliku. Ini adalah pertama kali saya menginjak anak
tanga rumahku sejak sembilan tahun lamanya kutingalkan. Kulihat ada dua sosok
berdiri di depan pintu. Dua sosok yang sudah keriput, sedikit bungkuk dimakan
usia, dua sosok yang menangis karena gertakanku, dua sosok yang telah
melahirkanku.
Segera kulari dan memeluk kaki mereka sambil
menangis terseduh. Tangisan penyesalanku menyadarkan mereka bahwa mereka sedang
dipeluk oleh anak mereka yang durhaka. Pelukanku membangunkan mereka bahwa
mereka sedang mendengar tangisan anak mereka.
Akankah mereka mengusirku? Akankah mereka tidak
mengakuiku? Tidak. Bentakanku, sikap kasarku sudah menjadi sejarah yang tidak
terlupakan. Pembangkanganku sudah ia tak ingat lagi, suara kasarku mereka sudah
lupakan. Bahkan mereka membalasnya dengan pelukan penuh kasih sama seperti
ketika mereka menidurkanku. Ciuman manjanya sama disaat aku masih kecil. Kasih
sayangnya tak pernah terhapus oleh perlakuanku. Ternyata benar kasih ibu
sepanjang jalan.
8 Agustus 2013
Hari nan fitri telah tiba. Kemenangan sudah di
raih selama sebulan penuh berperang melawan musuh sejati kita hawa nafsu. Jika
beruntung, kita akan kembali terlahir menjadi manusia yang suci dari dosa dan
kesalahan.
Hari ini, saya hendak berkunjung ke rumah Johan
dan kerumah Lutfiah untuk silaturahmi. Saya berangkat seorang diri dengan
mengendarai mobil yang sama. Jalan berkelok-kelok di lembah bukit menawarkan
pemandangan yang indah. Inilah keindahan surgawi di dunia.
Walau beberapa hari berpisah, saya sudah sangat rindu dengan Johan. Orang
yang selalu menemaniku dan menuntunku kembali kejalan ilahi.
Begitulah isi diari dari Maks yang sempat kubaca.
Id, dia memang datang kerumah kami, setelah itu dia pergi. Katanya dia hendak
kerumah temannya. Teman yang sejak dulu dia rindukan. Anehnya, saya sendiri
tidak tau siapa yang dia maksud.
Dia mendatangi salah satu rumah yang cukup di
kenal di kampung ini. Sejenak ia berdiri di depan rumah panggung itu. Entah dia
ragu atau kenapa.Dia pun memberanikan diri menaiki anak tangga dan mengetuk
pintu sambil mengucap salam.
Seketika sang tuan rumah menghampirinya dan
menyambutnya dengan sebilah badik yang telah tertancap di dada Maks. Darah pun
tumpah, mengalir mengotori kesucian hari nan fitri ini. Tubuhnya pun roboh dan
ditendangnya hingga jatuh ke tanah.
“Dasar anak tidak tau diri, kau bawa kemana anak
gadisku.” Maki seng pemilik badik pencabut nyawa itu. Seketika orang telah
berkerumun. Aku pun datang, dan melihat Maks sudah tidak bergerak lagi.
Ini salahku, kupeluk ia dengan erat. Memang sempat
beredar kabar kalau Maks membawa kabur anak gadis Daeng Tiro. Karena dua hari
setelah Maks kembali kerumah orang tuanya, Luthfiah pamit untuk keperluan
kuliah. Tidak kembalinya ia sampai sekarang membuat isu beredar bahwa mereka
silariang. Dalam tradisi orang Makassar, balasan bagi mereka yang silariang
adalah mati atau diasingkan.
“Maafkan saya kawan, saya telat memberi taumu.”
Saya hanya menangis melihatnya. Nafasnya kian berat dan tersengal. Denyut
nadinya melemah. Dan kulihat orang-orang tampak bingung hendak menyalahkan
siapa.
Tiba-tiba seorang gadis datang. Dia seperti tidak
percaya melihat Maks sudah tak berdaya.
”Dia tidak salah tetta. Kami tidak silariang. Saya
yang salah terlambat memberi kabar.” Seru wanita itu sambil menahan isak
tangisnya.
Semuanya sudah terlambat, kata-kata yang sudah
diucapkan tak dapat ditarik kembali, batu yang sudah dilempar tak mungkin kita tahan,
dan badik yang telah ditancapkan tak mungkin menyembuhkan luka seketika. Kini
tinggal penyesalan dalam diri daeng Tiro atas ketergesa-gesaannya hingga dia
menjadi kawan setan.
Nyawanya pun melayang diterbangkan kalimat tauhid.
Semoga dia termasuk penduduk surga karena diakhir hidupnya di tutup la ilaha
illallah. Israil menjemputnya dengan taubatnya. Ia pergi bersama ramadhan. Dan
pastinya tak akan kembali walau ramadhan depan masih akan menyapa. Do’anya
terkabul, menjadi orang bertaubat.