Tuesday, August 20, 2013

Diaryku




8 Juli 2013
                Dewi malam baru saja menampakkan wajahnya mengantikan mentari menyinari bumi. Gemintang kembali menghias langit dengan redup cahayanya. Orang-orang menyandang sajadah hendak berangkat ke mesjid menunaikan shalat. Anehnya, saya terheran melihat mereka semua.
“Jo! Mereka mau pada kemana? Ramai begitu. Memang ada yang meninggal ini hari?” Tanyaku pada teman yang dari tadi membopongku.
“Maks! Mereka pada mau tarwih. Inikan malam pertama puasa.” Jawabnya.
“Oh maaf, saya tidak bisa bedakan mana abulan puasa mana bukan.” Jawabku sambil sedikit tersenyum. Kulihat dia hanya menggelengkan kepala.
Saya memang tidak tau mana bulan puasa. Bagiku semuanya sama. Bulan puasa pun saya tak puasa. Jadi seperti tidak ada kesan yang berbeda. Padahal saya dibesarkan di keluarga yang agamis, taat agama. Tapi entah kenapa, bisikan setan lebih sering kudengar daripada seruan Tuhan.
Kepalaku masih terasa pusing dari sisa mabuk semalam. Padahal, sudah hampir sehari saya tertidur. Johan tampak kesulitan menuntunku jalan. Dengan pikiran setengah sadar tentu membuatnya kesulitan. Tapi dia adalah teman yang hebat. Dia tetap memperhatikanku walau terkadang nasihatnya tak kudengar. Berulang kali dia menyuruhku untuk meninggalkan duniaku yang kacau ini. Judi, mabuk, tapi tidak dengan wanita. Mereka kuhargai seperti menghargai ibuku, meskipun aku adalah anak yang durhaka.
“Jo, kau tak pergi tarwih?” Tanyaku.
“Kuantar kau kerumah. Istirahatlah dulu.”Jawabnya simpel.
Rumahnyalah yang sesekali menjadi makhluk yang suci. Suci dari judi dan minuman keras. Meskipun belum membuatku menjadi orang yang yang mendirikan shalat meskipun hanya sekali.
Dia menidurkanku di kamar tamunya. Seperti biasanya, sudah tersedia segelas susu dan sepiring nasi di samping tempat tidur. Setelah itu, dia mengunci kamar untuk memastikanku untuk tidak keluar malam kembali menenggak minuman haram itu. Dan dia pun pergi bersama sitrinya menjawab panggilan adzan.
9 Juli 2013
“Maks, bangun! Sudah jam tiga”. Johan membangunkanku sambil memukul pundakku.
“Ha, tumben kau bangunkan aku jam segini?”. Tanyaku penasaran. Biasanya ketika aku mabuk dan tertidur, dia biarkan aku bangun sendiri. Setelah ia membuka pintu kamarnya sekitar jam enam.
“Ada yang ingin saya bicarakan Maks. Ikutlah denganku!” Jawabnya sambil berjalan keluar kamar.
Segera kuikuti dia. Dan dia duduk di meja makan bersama istrinya tentu saja dengan hidangan yang ada di atasnya.
“Wow, kenapa adakan pesta di pagi buta begini?” Tanyaku dengan nada heran.
“Maks, duduklah!” Jawab istrinya.
Dengan perasaan bingung, aku hanya menuruti perintahnya seperti anjing peliharaan. Saya duduk manis di depan Johan. Kulihat mereka sedikit merunduk. Hal itu tentu sangat membantuku agar mereka tak melihat wajahku yang lucu karena kebingungan.
“Maks, bolehkah saya sedikit curhat denganmu?” Tanyanya ragu-ragu.
“Jo, jangan jadi orang asing bagiku. Kita sudah saling kenal sejak duduk di SD dulu. Bahkan saya mencarikanmu calon istri yang sekarang duduk di sampingmu. Bicaralah! Jangan ragu-ragu!.” Jawabku sedikit menasihati.
“Maks, saya merindukan kamu yang dulu. Yang selalu keliling kompleks membangunkan orang sahur. Saya rindu kamu yang mengajakku ke mushalla. Saya rindu maks.” Dia mengawali dengan ucapan tersendak. Dan sayapun menjadi diam seribu bahasa.
“Maks, sampai kapan kau mau seperti ini? Judi, minum, tidak shalat. Kau percaya Tuhan kan Maks. Berubahlah! Sudah cukup kau menyiksa diri. Maks, ini kukatakan bukan berarti saya sudah bosan mengangkatmu dari pinggir jalanan karena mabuk. Bukan itu alasanku Maks. Kamu itu bisa lebih baik Maks, kenapa harus seperti ini?” Lanjutnya sambil menjatuhkan butiran bening dari pelupuk matanya.
Dan inilah saat-saat yang sulit bagiku. Melihat kawanku menjatuhkan air mata karenaku. Karena ulahku yang sering membuatnya susah. Ya, sejak kabur dari rumah, merekalah satu-satunya alasan kenapa saya masih bisa hidup.
“Oke, silahkan makan. Mari kita sahur.” Jawabku simpel.
Warna mukanya kulihat berubah seketika. Terpancar wajah bahagia dari dua insan yang luar biasa yang selama ini merawatku. Mengingatkanku di kala lupa. Mereka lah berdua alasanku untuk hidup.
 10 Juli 2013
Adzan baru saja menggema di setiap pucuk menara mesjid menjemput malam di setiap sudut kota. Seketika orang-orang berpuasa menjadi bahagia. Tuhan telah menjanjikan kebahagiaan bagi mereka. Dan salah satunya diberikan di saat mereka berbuka setelah seharian bertempur melawan hawa nafsu.
Tak kusangka, sudah dua hari saya berpuasa semenjak saya disebut sebagai remaja yang baligh. Saya seperti terlahir kembali. Akhirnya saya bisa merasakan ramadhan walaupun belum spenuhnya. Tetapi sebuah kesyukuran, Tuhan memberikanku kesempatan berkenalan dengannya. Makhluk Tuhan yang penuh ampunan dan berkah, makhluk Tuhan yang disebut Ramadhan.
Malam ini, Johan ingin membuktikan keseriusanku untuk berubah. Dia mengajakku ke mesjid untuk shalat tarwih. Dia mengajakku bertemu dengan orang-orang yang sudah terbiasa melihatku tergeletak di jalan atau tertidur di atas meja judi karena mabuk. Saya tidak tau dia sengaja atau tidak. Tetapi, saya paling benci disebut sebagai orang yang tidak pernah serius.
Baju gamis putih dan sarung abu-abu membalut tubuhku dan peci hitam sebagai penutup kepala. Kulangkahkan kaki kanan masuk ke mesjid seraya mengucapkan basmalah. Doa yang diajarkan ibu untuk memulai yang baik-baik. Kusadari semua mata tertuju kepadaku. Wajar mereka heran, selama ini saya yang hanya menjadi sampah masyarakat datang ke mesjid tanpa perasaan malu-malu. Sesekali kudengar bisikan mereka berucap, “Sudah menjadi sampah masyarakat, apa sekarang mau mengotori masjid?”. Atau ada yang lebih parah mengatakan, “Mungkin dia sedang mabuk berat sehingga dia tersesat masuk mesjid”.
Perih hati ini mendengarnya. Saya lebih senang diiris botol minuman daripada mendengar pembicaraan mereka. Namun, suara syahdu terdengar mengatakan, “Tak baik seperti itu, kita yang sekarang rajin kemesjid bisa tak ada apa-apanya  dibandingkan dia karena kita menceritakannya”. Segera perih ini terobati.
Dia adalah Lutfiah yang berarti lembut. Kelembutannya telah melunakkan kerasnya hatiku semenjak kami duduk di bangku SMA. Tetapi dia adalah wanita yang baik, tak pantas jika air bersih dicampur dengan segelas minuman haram dan najis.
Usai menunaikan shalat sang penceramah pun menyampaikan ayat-ayat Tuhan yang selama ini saya anggap sebagai angin yang berlalu. Kudengarkan dengan baik sambil mengingat kesalahan dan dosaku yang seperti bilangan pasir di tepi pantai.
Pintu taubat itu selalu terbuka bagi siapa saja, dan akan selalu terbuka hingga nyawa hanya tinggal di kerongkongan atau sampai matahari terbit di ufuk barat. Oleh karena itu, seyogyanya kita bertaubat dan mati dalam keadaan beriman. Yakinlah, Allah selalu bersama mereka yang menuju kejalannya.
Demikianlah bebarapa bait kalimat yang selau terngiang-ngiang di telingaku. Menjadi kalimat pamungkas bagiku. Hingga akhirnya saya bisa melalu hari-hari dalam ramdhan.
Malam ini saya berdo’a kepada Tuhan, jika ia tak mengizinkanku hidup membina rumah tangga dengan wanita shalehah. Kuharap Allah mencabut nyawaku setelah bertaubat dan membawa iman.
20 Juli 2013
Saat ini saya memiliki aktifitas baru. Mengaji seusai subuh, shalat lima waktu, dan shalat tarwih di malam harinya. Saya cukup senang melihat Johan dan istrinya bahagia. Paling tidak saya tidak lagi menjadi beban untuk keluarga ini.
Seusai tarwih, seseorang menyapaku.
“Assalamu alaikum.” Sapanya.
“Waalaikum salam.” Jabku sambil berbalik. “Lutfiah!” Sambungku dengan sedikit heran.
“Wah, saya ikut senang bisa melihatmu bergabung dengan kami di mesjid.” Katanya memulai pembicaraan.
“Ya, mungkin ini saatnya saya berubah. Saya sudah cukup menyusahkan banyak orang Jawabku sambil menghela nafas. “Oh ia, bukannya saya malas bicara dengan kamu. Tetapi apa kata orang-orang kalau kamu berjalan dengan seorang pemabuk. Saya duluan ya, assalamu alaikum.” Ucapku sambil mengejar Johan yang berda di depanku.
Begitulah saya menghargainya, paling tidak menjaga nama baiknya  dengan tidak mengajaknya berbicara itu sudah cukup bagiku. 
5 Agustus 2013
Ramdhan sebentar lagi akan berpamitan. Dia akan pergi dengan membawa beribu berkah dan ampunannya. Dia akan pergi bersama beribu kemuliaannya. Dan saya tidak tau, akankah kami akan berjumpa lagi tahu depan.
Di penghujung ramadhan ini, dimana orang bilang sebagai pembebas dari api jahannam, saya berniat untuk pulang kerumah. Sudah lama saya tidak berjumpa kedua orang tuaku. Entah dia masih ingat pernah melahirkan saya yang durhaka kepadanya. Kerinduanku semakin membuncah dan tak sadarkan diri menjatuhkan air mata dikala kulihat mereka di balik bingkai foto.
Masih terngiang di telingaku ketika kutinggikan suaraku di hadapannya dan membuat air matanya menetes. Seketika kurasakan israil hendak memanggilku sebelum kudapatkan ampunan mereka. Saya tak sanggup ketika mendengar petuah ustad bahwa orang durhaka tak akan merasakan surga hingga unta masuk ke lubang jarum.
“Pulanglah Maks! Sudah waktunya.” Kudengar suara Johan bersama istrinya di belakangku.
Segera aku mengemasi pakaianku di bantu oleh mereka berdua. Mereka juga telah memsan mobil untuk aku tumpangi. Sekali lagi  saya berhutang kepada mereka.
Sebelum berangkat, kusodorkan atm kepada mereka. Isinya adalah uang halal yang selama ini kudapat. Kuharap mereka mempergunakannya untuk menyambut lebaran. Namun, dia menolaknya dengan senyuman. “Belikan sesuatu untuk keluargamu di rumah!” Jawabnya sambil menolak pemberianku.
Sesampai dirumah, kulihat sanak saudara sudah berkumpul di rumah. Mata mereka tertuju kepada mobil panther yang baru saja sampai. Rasa penasaran mereka seperti sedang menunggu kedatangan pejabat negara. Aku pun turun dari mobil dengan perasaan gugup.
Segera kumasuk di halaman rumah. Dan ternyata betul, tak ada yang mengenaliku. Ini adalah pertama kali saya menginjak anak tanga rumahku sejak sembilan tahun lamanya kutingalkan. Kulihat ada dua sosok berdiri di depan pintu. Dua sosok yang sudah keriput, sedikit bungkuk dimakan usia, dua sosok yang menangis karena gertakanku, dua sosok yang telah melahirkanku.
Segera kulari dan memeluk kaki mereka sambil menangis terseduh. Tangisan penyesalanku menyadarkan mereka bahwa mereka sedang dipeluk oleh anak mereka yang durhaka. Pelukanku membangunkan mereka bahwa mereka sedang mendengar tangisan anak mereka.
Akankah mereka mengusirku? Akankah mereka tidak mengakuiku? Tidak. Bentakanku, sikap kasarku sudah menjadi sejarah yang tidak terlupakan. Pembangkanganku sudah ia tak ingat lagi, suara kasarku mereka sudah lupakan. Bahkan mereka membalasnya dengan pelukan penuh kasih sama seperti ketika mereka menidurkanku. Ciuman manjanya sama disaat aku masih kecil. Kasih sayangnya tak pernah terhapus oleh perlakuanku. Ternyata benar kasih ibu sepanjang jalan.
8 Agustus 2013
Hari nan fitri telah tiba. Kemenangan sudah di raih selama sebulan penuh berperang melawan musuh sejati kita hawa nafsu. Jika beruntung, kita akan kembali terlahir menjadi manusia yang suci dari dosa dan kesalahan.
Hari ini, saya hendak berkunjung ke rumah Johan dan kerumah Lutfiah untuk silaturahmi. Saya berangkat seorang diri dengan mengendarai mobil yang sama. Jalan berkelok-kelok di lembah bukit menawarkan pemandangan yang indah. Inilah keindahan surgawi di dunia.
Walau beberapa hari berpisah, saya sudah sangat rindu dengan Johan. Orang yang selalu menemaniku dan menuntunku kembali kejalan ilahi.
Begitulah isi diari dari Maks yang sempat kubaca. Id, dia memang datang kerumah kami, setelah itu dia pergi. Katanya dia hendak kerumah temannya. Teman yang sejak dulu dia rindukan. Anehnya, saya sendiri tidak tau siapa yang dia maksud.
Dia mendatangi salah satu rumah yang cukup di kenal di kampung ini. Sejenak ia berdiri di depan rumah panggung itu. Entah dia ragu atau kenapa.Dia pun memberanikan diri menaiki anak tangga dan mengetuk pintu sambil mengucap salam.
Seketika sang tuan rumah menghampirinya dan menyambutnya dengan sebilah badik yang telah tertancap di dada Maks. Darah pun tumpah, mengalir mengotori kesucian hari nan fitri ini. Tubuhnya pun roboh dan ditendangnya hingga jatuh ke tanah.
“Dasar anak tidak tau diri, kau bawa kemana anak gadisku.” Maki seng pemilik badik pencabut nyawa itu. Seketika orang telah berkerumun. Aku pun datang, dan melihat Maks sudah tidak bergerak lagi.
Ini salahku, kupeluk ia dengan erat. Memang sempat beredar kabar kalau Maks membawa kabur anak gadis Daeng Tiro. Karena dua hari setelah Maks kembali kerumah orang tuanya, Luthfiah pamit untuk keperluan kuliah. Tidak kembalinya ia sampai sekarang membuat isu beredar bahwa mereka silariang. Dalam tradisi orang Makassar, balasan bagi mereka yang silariang adalah mati atau diasingkan.
“Maafkan saya kawan, saya telat memberi taumu.” Saya hanya menangis melihatnya. Nafasnya kian berat dan tersengal. Denyut nadinya melemah. Dan kulihat orang-orang tampak bingung hendak menyalahkan siapa.
Tiba-tiba seorang gadis datang. Dia seperti tidak percaya melihat Maks sudah tak berdaya.
”Dia tidak salah tetta. Kami tidak silariang. Saya yang salah terlambat memberi kabar.” Seru wanita itu sambil menahan isak tangisnya.
Semuanya sudah terlambat, kata-kata yang sudah diucapkan tak dapat ditarik kembali, batu yang sudah dilempar tak mungkin kita tahan, dan badik yang telah ditancapkan tak mungkin menyembuhkan luka seketika. Kini tinggal penyesalan dalam diri daeng Tiro atas ketergesa-gesaannya hingga dia menjadi kawan setan.
Nyawanya pun melayang diterbangkan kalimat tauhid. Semoga dia termasuk penduduk surga karena diakhir hidupnya di tutup la ilaha illallah. Israil menjemputnya dengan taubatnya. Ia pergi bersama ramadhan. Dan pastinya tak akan kembali walau ramadhan depan masih akan menyapa. Do’anya terkabul, menjadi orang bertaubat.


Wednesday, April 17, 2013

Puisi Cinta


Rasa yang Tak Sempurna
Kepada malaikat di penghujung malam
Dengarlah sajakku malam ini
Kutulis dengan untaian kata penyesalan
Tentang diriku yang selalu kalah dengan rasa yang tak sempurna

Kepada malaikat di penghujung malam
Setelah kutulis sajak ini
Mungkin akan ada hati yang menangis
Atau mungkin juga tersenyum tipis
Sesal akan rasa yang tak terungkap
Akan hasrat yang tersembunyi
Tentang rasa yang tidak sempurna
Tentang sepasang manusia yang mungkin saling mencintai
Tapi cinta yang tak sempurna

Kepada malaikat dipenghujung malam
Sudah cukup rasa yag terpenjara
Ingin kutututup ruang rasa dengan paksa
Melupakan semua angan yang terpenjara
Kepada malaikat di penghujung malam
Bisikkan di telinganya
Biarkan aku mencintainya lewat mimpi
Ijinkan aku menyanginya dalam lamunan
Dan cabutlah rasa yang tak sempurna
Jika ku tersadar dan terbangun

Mungkin sekeping hatinya bukan untukku lagi
Atau mungkin namaku masih terukir disana
Jika ia, maka buanglah kepingan hatimu
Dan biarkanlah serpihannya berserak dan hilang
Dan izinkanlah kurangkai rasa yang baru
Rasa yang sempurna.
Sungguminasa, 16 April 2013
Ibnu Maksum

Kisah




Kandas di Pagi Hari
Butiran hujan jatuh membelai rerumputan. Bangau beterbangan lalu hinggap di sengkedan pesawahan. Gemercik air mengalir menyapu bebatuan. Bulir-bulir padi merunduk menari-enari tertiup angin. Hijau, sejuk pagi ini kurasakan.
Kuparkir motorku di gerbang peristirahatan terakhir orang-orang di desaku. Berat rasanya kaki ini melangkah masuk kedalamnya. Sesak nafasku menyaksikan nisan-nisan bertuliskan nama. Kusambangi satu persatu kotak denganhiasan keramik itu, dan kujumpai satu pusara tanpa keramik dengan nisan batu apung ditengahnya.
Tanahnya yang masih merah kugenggam dan mengepalnya erat-erat. Butiran air mata mengalir jatuh menetes di atas gundukan tanah itu. Ingin ku meraung meneriakkan kekesalanku atas kepergiannya tanpa meninggalkan sepenggal kata cinta, tanpa membisikkan kata perpisahan.  Mungkinkah benar cinta itu tidak mesti memiliki.
Kupandangi nisanmu dengan isak tangis yang tertahan, sesak ditenggorokan menahan sakit pedihnya cobaan ini. Masih terlukis jelas wajah manismu dalam ingatanku, di saat kau lepas aku pergi ke tanah Makassar. Ku masih sempat melihat senyummu merekah menghias bibirmu yang tipis, senyum perpisahan saat itu dan ternyata perpisahan untuk selama-lamanya. Masih terasa lembut pipimu di punggung tanganku, ternyata itulah salam terakhir yang kau berikan.
Lirih kuucapkan di pusaramu ini, entah kau dengar atau tidak. Maaf dinda, ku tak sempat mendapingimu di perang terakhirmu, tak sempat aku menuntunmu, tak sempat aku mengantarmu ke rumah keabadianmu. Hanya do’a dan air mata ini kupersembahkan di hadapanmu. Maaf, kepergianmu tak sempat kutaburi bunga kamboja dan irisan daun pandan. Rinduku tak akan terbalas lagi, sapaanku tak akan terjawab lagi. Dinda, ku pasrahkan semua. Cinta-Nya abadi, dan kuyakin kau tau akan hal itu.
“Nak sudalah, tak usah kau bersedih terlalu lama.” Kata ayah Nirma sambil memegang pundakku. “Paman paham apa yang kamu rasakan. Dari kecil kalian selalu bersama. Tapi maut juga adalah takdir yang maha Kuasa yang tidak bisa kita bantah. Aku pun sebagai ayahnya ingin melihat dia tumbuh, sekolah tinggi seperti kamu. Sudahlah nak, pasrahkan saja kepada Allah. Mintalah supaya Nirma diberikan tempat yang layak.”Lanjut ayah Nirma menasihatiku.
“Mari kita pulang nak!”Ajak ayah Nirma.
Segera kutinggalkan pemakaman itu, dan kupacu sepeda motorku mengantar ayah Nirma pulang. Langit mendung, petani yang sibuk mengambil gabah yang dijemur menghiasi perjalanan kami. Seperti suasana hatiku saat itu, mendung dan gelisah. Seketika kami sudah berada di halaman rumah Nirma.
Aku dipanggil naik kerumah melepas rindu dengan sanak saudara. Terngiang ketika Nirma melambaikan tangannya di anak tangga yang kunaiki ini. Terbayang disaat dia menyambutku dengan senyuman di samping daun pintu rumahnya. Namun kali ini yang menyambutku adalah ibunya. Aku duduk di sofa seperti saat aku  bertamu sebelum-sebelumnya. Ibunya langsung membawakan secangkir teh hangat, minuman yang selalu disuguhkan untukku sama seperti sebelum-sebelumnya. Namun, saat ini bukan sosoknya yang membawakan, tak adalagi senyum khasnya ketika kucicipi minuman ini. Percakapanku dan ayahnya sama seperti sebelumnya, tentang kuliahku. Namun, tidak terdengar lagi kata-kata ayahnya, “semoga Nirma juga bisa seperti kamu nantinya.”
Tidak terasa sudah hampir dhuhur, aku pamit pada mereka. Kupandangi sejenak fotonya di atas etalase belakang sofa. “Senyummu begitu indah adik.”Kataku dalam hati. Ketika di depan pintu, ibunya memanggilku, segera aku berbalik.
“Nak, ini ada sesuatu untukmu. Sebenarnya apa yang kami harapkan sama seperti yang Nirma harapkan.” Kata ibunya sambil meyodorkan amplop putih kepadaku.
Aku berbalik dan segera kupacu meninggalkan halaman rumahnya sambil membunyikan klakson. Pagi yang menyesakkan bagiku.
Langsung kujatuhkan badanku di atas kasur, kupandangi langit-langit kamarku. Wajahnya kembali terbayang. Segera kuambil amplop yang diberikan ibunya tadi, dan segera membacanya.
Assalamu Alaikum Wr.Wb
Kak, gimana kabarnya?
Kok tambah kurus, pasti karena terlalu sibuk kuliah ya kak. Bagaimana ya, kalau nanti aku yang kuliah. Masa ikut-ikutan kurus. Hehehehe.
Gimana kuliahnya kak, lancar kan? Kasian tiap minggu harus kerja laporan. Tangan kakak tak kempes kan. Hahahaha. Nanti aku tak usah deh ambil jurusan fisika, kakak aja repot sekali bagaimana dengan saya. Tapi kakak harus semangat, biar biasa ajarin Nirma. Oh ya kak, bentar lagi Nirma UN. Jadi tahun depan dah jadi mahasiswa.
Oh ya kak, kemarin saya kerumah sakit, dokter bilang sakitku sudah parah. Harus segera diobati. Maaf ya kak, aku tak bilang sama kakak kalau saya punya penyakit seperti ini. Soalnya aku tak mau senyum kakak hilang gara-gara tau penyakitku. Nanti hilang gagahnya lagi. Hehehehehe.
Oh ya kak, aku sudah dua hari sakit, makanya aku tak pernah sms kakak. Badanku sakit sekali kak, akhirnya hanya tidur deh aku kerja. Eh aku juga masih bisa nulis surat ini. Hebat kan adindamu ini.....
Kak, kalau mendengar dokter. Sepertinya aku sudah tidak punya harapan. Hehehehe. Kak, jangan sedih dong. Aku sengaja tak ngasih kabar ke kakak. Soalnya hal yang paling sakit saya rasa saat melihat kakak sedih. Jujur ya kak, bukan gombal. Aku tak mau di sisa hidupku melihat kakak bersedih, apalagi nangis. Cukuplah senyum kakak yang menjadi kenangan bagi saya.
Kak jika saya telah tiada, aku harap kakak mengubur cinta kakak ke aku bersamaan dengan jasadku. Walaupun aku tau kakak mencitai jiwa dan ragaku. Tapi aku tidak mungkin menemani kakak, membuat kakak terus tersenyum. Oleh karena itu, aku akan sangat bahagia jika bisa melihat kakak membahagiakan seorang wanita, sama seperti kakak menghias dan membuat hari-hariku indah.
Kak, terimakasih telah mau menjadi teman Nirma selama ini. Walau tak bisa terus bersama, aku sudah cukup bahagia pernah hadir dalam hidup kakak. Kak, kaulah kekasihku dunia dan akhirat. Tapi kuharap, kakak cari kekasih di dunia. Insyaallah kita bertemu di rangkulan Allah. Oke kakak.
Kak sudah dulu ya kak. Udah, jangan sedih. Aku baik-baik saja disini. Kakak jangan malas ya! Rajin makan, jangan lupa shalat,dan lain-lain. Rasanya banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi sudahlah. Yang penting jangan lupa shalat.
Wassalam
Adindamu
Nirma
Kelopak mataku tak kuasa membendung air mataku. Aku betul-betul menangis membaca suratnya yang terakhir. Tuhan, kenapa aku begitu bodoh selama ini. Aku serasa begitu asing darinya. Adindaku, kenapa hanya dengan surat ini kau memberitahuku. Ternyata mukamu yang manis selama ini menyimpan seribu derita. Senyummu padaku selama ini hanya menyembunyikan tangisanmu di malam kelam. Kau memang pribadi yang tegar, kau wanitaku.
Di penghujung malam, kupanjatkan  doa kepada Yang Maha Cinta, kepada yang memberikan serpihan cintanya padaku.
Ya Allah, apakah cintaku kandas di pusaranya? Mengapa Kau ciptakan makhluk seperti dia Ya Allah, dia mencintai dengan tulus. Kasihnya padaku suci. Biarkan cintanya tetap ada dalam kalbuku. Dan satukanlah cinta kami ya Allah. Aku tak mampu membalas cintanya, maka balaslah ia dengan cinta dan kasih sayang-Mu.
Dekap ia dengan Kasih sayang-Mu. Jaga ia dari api jahim-Mu. Karena Kaulah sang pemberi cinta.

Baca Juga

Cara Menghemat Data WhatsApp

Panduan WhatsApp   Cara Menghemat Data WhatsApp . Siapa sih yang tidak tau aplikasi chatting whatsApp? Aplikasi ini sudah tembus ha...